06 February, 2013

WADUH

Dulu, untuk sebuah pose, musti menunggu tukang kodak keliling datang ke kampung kami. Juru foto ini adalah seorang tambun berkulit kelam terpanggang mentari. Dia acap datang saat musim tembakau tiba. Terkecuali ada hajatan, di hari biasa, bisa jadi sebulan cuma sekali dia ada. Maklumlah, desa kami jauh dari kota, dengan jalan menanjak tanpa sarana angkutan umum pula. Tak heran warga kami hanya punya satu album foto yg tak penuh terisi. Biasanya, anak2 menghentikan segala kegiatan bermain manakala dia datang. Mereka akan bersorak "tukang kodaak.." berulang2 ketika melihat pria ini di kejauhan. Pak kodak selalu datang dengan wajah ceria, memanggul tripod, berkalung kamera,dan menyandang tas berisi kelir (istilah kami untuk kain background) bergambar taman atau gambar ruang megah sebuah rumah. Harusnya bawaan pak kodak akan lebih ringan andai kami dulu sadar alam telah menyediakan kemegahan gunung sumbing sebagai latar nan elok.
Kini, seiring kemajuan teknologi, pak kodak terpaksa tereliminasi. Tak datang lagi si pria tambun yg konon kata orang dengan senang hati diupah jasa dengan hasil tani.
Kini kami bisa berfoto sekehendak pusar kami. Hilang kesan mewah berpose dan kesakralan bergambar. Tak cuma itu, dulu untuk berfoto, tatkala pak kodak menyiapkan perkakas, memasang kelir untuk menyembunyikan dinding bambu, si empunya rumah akan sibuk berdandan. Apalagi bila dia seorang gadis, dia akan mandi keramas dengan rendaman merang bila perlu. Setelahnya, akan dikenakan baju terbaik seolah hari itu idul fitri. Orang2 ini ingin gambarnya terekam dalam keadaan santun.
Tapi kini wahai pak kodak, mereka tak perlu menunggu kelir terbentang, mereka tak peduli akan kesantunan tentang apa yg mereka kenakan -atau yg tak dia kenakan-. Jangankan lagi berdandan, di tengah mandipun mereka tak sungkan mengabadikan diri.

MERDEKA

merdeka itu bukan wujud, tapi rasa. banyak yg hidup di sebuah (wujud) negri yg hampir 73 tahun merdeka, tapi tidak merasakan (rasa) kemerdek...